Rabu, 06 April 2022

ISU 3 PERIODE JOKOWI MENGUNDANG SEMANGAT REFORMASI JILID 2


Metode gerakan Mahasiswa biasanya selalu turun ke jalan menyampaikan kritik dan aspirasi kepada pemerintah, membawa spanduk, bahkan mobil komando, jika gerakan berpusat di Ibu Kota Negara, maka sasarannya ke depan Istana, gedung DPR RI, di tingkat daerah pun demikian sesuai dengan tingkatan Pemerintah dan Kondisi Isu dasar daripada Gerakan.

Namun, perkembangan zaman dan teknologi berlahan mengubah cara mahasiswa berpendapat. Mahasiswa kadang lebih memilih menyampaikan suaranya lewat media sosial hal ini menjadi sebab adanya istilah Aktivis media sosial. Media sosial menjadi salah satu ruang publik yang dewasa ini dimanfaatkan banyak orang untuk berbicara segala hal termasuk protes pada pemerintah.

Kritik mahasiswa dengan memanfaatkan media sosial seperti menjadi fenomena belakangan ini. Sejumlah kelompok pemuda dan Mahasiswa berani melontarkan kritik pedas terhadap Presiden Joko Widodo di media sosial, baik melalui poster atau meme.

Munculnya kritik terhadap Presiden Jokowi di media sosial sudah banyak di praktekkan oleh kelompok Pemuda dan Mahasiswa mungkin kita bisa mengambil sampel BEM Universitas Indonesia dengan kritik kerasnya yang menyebut Jokowi King of Lip Service, tentu ini adalah kritik pedas yang nampak halus.

Sayapun berani katakan bahwa betul Rezim Presiden Joko Widodo sangat pas mendapat julukan King Of Lip Service sebagai pemimpin yang ramah dan cukup pandai bertutur menyentu hati masyakarat dengan janji manis yang pada akhirnya tidak sesuai dengan harapan atas janji yang terlantun indah karena sistem di negri ini lebih menguntungkan kaum oligarki.

Pernyataan manis namun sebenarnya paradoks Pak Jokowi menyatakan siap dikritik asal sopan dan santun itu semua bulsit, bisa kita uji pertama kritik sopan santun seperti apa yang di maksud dan apakah ada jaminan terhadap realisasinya, sama sekali tidak ada, kritik keras yang mengundang seluru elemen Mahasiswa Indonesia saja tidak ngaruh apa lagi sopan dan santun seperti yang di maksud, tentu aksi perlawanan mahasiswa bukanlah yang tidak mendasar, selalu berangkat dari data dan kajian namun tetap saja seringkali mahasiswa mendapat perlakuan intimidasi bahkan di tangkap karena kritiknya terhadap Jokowi, tindakan refresif pun semakin menjadi-jadi gerakan Mahasiswapun coba untuk di bungkam demokrasi ternodai serasa kembali ke zaman kolonialisme.

Kritik Lewat Media Sosial Dinilai Efektif menjadi hal Solutif untuk menyampaikan aspirasi tanpa harus aksi lapangan, sama dengan yang di kemukakan oleh Pemerhati media sosial yang juga pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengatakan kritik atau protes yang dilakukan mahasiswa dan ditujukan untuk pemerintah sebenarnya bukan hal baru. Itu sudah terjadi sejak lama, Hanya saja, cara yang digunakan mulai bergeser. Saat ini beberapa mahasiswa memilih media sosial sebagai tempat menyampaikan aspirasi pada pemerintah tidak melulu harus turun ke jalan, namum sisi lain atau konsekuensi dari metode kritik melalui media sosial sangat mungkin terjerat UU ITE.

Pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo selama ini tak lepas dari bayang-bayang pemolisian. Selama masa pemerintahan Jokowi, Mahasiswa yang mencoba kritik terhadap Jokowi ada yang diamankan aparat dengan tuduhan melanggar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). payung hukum tersebut justru memuat banyak pasal-pasal karet yang dapat dijadikan sebagai alat untuk membungkam.

Pembahasan sebelumnya merupakan pengantar bahwasanya sudah berbagai metode atau instrumen gerakan yang dilakukan oleh kelompok pemuda dan Mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya mulai dari aksi-aksi lapangan Sampai aksi melalui sosial media, tapi yah memang dasar jika seandainya saja yang memimpin Indonesia adalah pimpinan sesuai devinisinya bukan karakter penguasa maka mungkin saja akan ada tanggapan positif bukan sikap apatisme terhadap rakyat.

Saat ini isu Masa Jabatan Presiden Diperpanjang, sangat hangat di perbincangkan oleh kelompok-kelompok pemuda dan Mahasiswa bahkan seluruh lapisan Masyarakat, tentu menghasilkan konglusi pro dan kontra di tengah masyarakat, secara subjektif saya percaya di situasi saat ini masyakarat cukup cerdas untuk menilai standarisasi dari Segi kelayakan dan UU yang mengatur kepemiluan. Isu perpanjangan masa jabatan Presiden untuk tiga periode dengan segala macam instrumen, tentu isu perpanjangan Jabatan bukan wacana biasa yang coba di hadirkan di tengah Masyarakat melainkan sangat syarat dengan kepentingan elite yang belum tuntas untuk agenda politik mencapai tujuan kekuasaan.

Jangan Sampai Sejarah Orde Baru Terulang kembali untuk Rezim Jokowi tentu bukan hal yang mustahil jika amanat Reformasi dan nilai-nilai demokrasi di hianati, bukanka sejarah telah mencatat kekuatan pemuda yang menumbang Rezim orde baru. Sudah seharusnya penolakan terhadap penundaan pemilu 2024 di suarakan sekeras mungkin. Tidak ada alasan dan landasan yang kuat untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi. Narasi ini hanya akan menjadi catatan buruk, pembangkangan konstitusi demi melanggengkan hegemoni kekuasaan dan kepentingan oligarki.

Kemudian Presiden masa Jokowi Widodo tidak ada hal yang terlalu pantas untuk di banggakan, alasan memberi kesempatan penyelesaian kinerja tentu mala semakin memperjelas kegagalan Jokowi selama 2 periode. Kegagalan Jokowi sangat nampak jelas mulai dari Pelemahan lembaga KPK, Penerapan Omnibus Law UU ciptaker-UU Minerba, maraknya tindakan represif aparat terhadap rakyat yg mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan negara atas nama pembangunan, utang negara yang semakin membengkak berjumlah 7.014 Triliun, pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia maya karena hadirnya UU ITE, pemilu ingin ditunda dan masa jabatan presiden serta wapres ingin ditambah tentunya bertentangan dengan UU, harga Minyak goreng melambung tinggi, Bensin Premium hilang, pertalite langka, pertamax dengan harga melambung tinggi, pemaksaan pembangunan IKN yang insubstansial, Negara yang berbisnis dengan Rakyatnya dan masi banyak lagi.

Dengan demikian beberapa narasi mulai dari sarana penyampaian aspirasi dan beberapa kelemahannya dari sisi gerakan lapangan dan media Sosial serta serta kritikan atas isu penundaan Pemilu, perpanjang jabatan dan penampakan kegagalan Jokowi selama 8 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia.

Sabtu, 05 Februari 2022

75 Tahun HMI Menuju Era Society 5.0 Punya peran Penting



Penulis : Aco Riswan (HMI Cabang Manakarra)

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah Organisasi kemahasiswaan yang di bentuk pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 M yang di prakarsai oleh Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam yang sekarang berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi Kemahasiswaan tertua di Indonesia di banding beberapa organisasi Kemahasiswaan lainnya. Di umur yang memasuki 75 tahun pada tanggal 5 Februari 2022 mendatang tentu bukan umur yang mudah lagi bagi HMI jika di ibaratkan sebagai Manusia. Analoginya jika Manusia sudah tua pasti akan banyak masalah dalam organ tubuhnya dan bermunculannya penyakit yang menggerogoti batang tubuh Manusia tersebut. Analogi ini memang sangat relevan dengan kondisi HMI saat ini, nampaknya semakin menua di buktikan dengan banyaknya Konflik ibarat penyakit yang menggerogoti batang tubuh HMI sehingga HMI mengalami degradasi dari masa ke masa.

Dengan kondisi HMI saat ini tentu menjadi PR besar bagi seluruh kader untuk merefleksi dan memperbarui sebagai upaya meremajakan HMI untuk bisa menyesuaikan diri dengan Transformasi Zaman yang semakin moderen. HMI harus bisa lebih maju dan memodernisasi sistem, dengan menggunakan sumber daya yang ada di Era Revolusi Industri 4.0 dengan menuntut agar setiap kader bisa beradaptasi dan mampu mengoperasikan teknologi sebagai alat penyimpanan, penyaluran data, dan informasi Dunia.

Perkembangan zaman yang dari masa ke masa mengalami transformasi pesat menjadi tantangan mendasar bagi HMI untuk bisa selaras dengan Zaman. Salah satu bentuk Transformasi tersebut yaitu Society 5.0. Society 5.0 adalah manusia yang dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era Revolusi industri 4.0. Society 5.0 sendiri pertama kali diperkenalkan oleh pemerintahan Jepang pada tahun 2019. Society 5.0 merupakan perkembangan dari revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) sedangkan era society 5.0 sebagai pembaharuan yang menempatkan manusia sebagai komponen utama di dalamnya, bukan sekadar passive component seperti di revolusi industri 4.0.

Dalam menghadapi era society 5.0, dunia pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam hal ini tentu HMI juga memiliki peran penting dalam perkembangan era Society 5.0 yaitu untuk memajukan kualitas SDM. Karena itu diperlukan Fasilitas dan kualitas pendidikan sebagai penunjang tuntutan Zaman.

HMI juga perlu memiliki kesiapan dan kemampuan berpikir (Higher Order Thinking Skills) untuk menjawab tantangan global era society 5.0. Hal tersebut untuk meminimalisir kesenjangan pola pikir dan orientasi teknologi setiap kalangan Masyarakat nantinya. Tentu langkah yang harus di persiapkan HMI adalah upaya edukasi ke masyarakat dengan pengetahuan dasar terkait Era Society 5.0 agar seluruh element Masyarakat siap menghadapi Era baru dengan life skill yang cukup tentang teknologi.

Salahsatu persoalan mendasar yang sangat penting didorong oleh HMI untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul, adalah sarana dan prasarana pendidikan di karenakan pendidikan punya peran penting untuk Generasi siap, menghadapi tantangan Zaman menuju Era Society 5.0 agar tidak menajdi penonton dan babu di negeri sendiri khususnya Indonesia.

HMI sudah seharusnya tampil sebagai Solutif dari setiap permasalahan yang ada, Progres pun dari masa ke masa sudah tidak diragukan, itulah mengapa HMI banyak diminati oleh kalangan Mahasiswa yang bergelut di dunia Organisasi. Oleh sebab itu HMI juga seharusnya punya gerakan besar sebagai upaya memaksimalkan fasilitas pendidikan terutama daerah pelosok negeri yang sangat minim tersentuh oleh Pemerintah di bidang pendidikan dan teknologi. Karena kita tau jika pendidikan dan pemahaman teknologi menjadi dasar untuk siap menghadapi Era Society 5.0 maka seiring dengan itu pendidikan juga harus di persiapkan secara maksimal dan Profesional itulah salahsatu peran penting HMI.

Demikian melalui tulisan ini dengan segala keterbatasan pengetahuan semoga dapat menjadi pendorong adanya gerakan besar oleh HMI untuk menjawab tantangan Zaman menuju Era Society 5.0.

Selasa, 11 Januari 2022

Tuntutan Perempuan atas Kemerdekaan



Penulis :
Qhamtina Sari Iksan

Salahsatu Aktivis Perempuan Provinsi Sulawesi Barat yang juga adalah salahsatu kader HMI-WATI Cabang Manakarra asal Lebani Tappalang Barat.

Sejak tahun 1945 bangsa Indonesia telah dinyatakan menjadi bangsa yang merdeka. Secara umum berarti seluruh warga masyarakat baik itu perempuan ataupun laki laki telah bebas dari penjajahan dan penindasan dalam bentuk apapun. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan keputusan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945.

Namun, realitanya yang terjadi di negara ini jauh dari kata merdeka, khususnya bagi kaum perempuan. Jika dikatakan merdeka adalah bebas berkehidupan dan bebas dari penindasan, saya rasa hal itu belum terwujud sepenuhnya. Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki peninggalan zaman penjajahan yang masih melekat dan dipertahankan oleh masyarakat Indonesia.

Patriarki adalah budaya dimana kaum laki laki yang menjadi manusia kelas satu, sedangkan perempuan selalu dipandang sebagai entitas kedua dalam berkehidupan. Efek yang ditimbulkan dari budaya ini adalah perempuan menjadi disepelekan dan hanya di tempatkan di ruang domestik. Ada istilah yang sering kita dengar di masyarakat bahwa tempatnya perempuan adalah “dapur, kasur, sumur”. Kebanyakan perempuan di Indonesia hari ini seakan pasrah dilabeli dengan pengaruh- pengaruh sisa zaman penjajahan seperti itu. Padahal hari ini bangsanya telah merdeka.

Perempuan yang berkiprah di wilayah publik masih menjadi bahan perbincangan dan banyak dicemooh. Perempuan yang mengejar pendidikan setinggi mungkin justru dicibir habis oleh masyarakat sebagian. Bukanka dalam alinea ke empat pembukaan UUD 45 disebutkan bahwa cita-cita bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, lantas ketika para perempuan berusaha menjadikan diri mereka cerdas hal tersebut malah menjadi suatu hal aneh di tengah masyarakat.

Merdeka bermakna bebas. Baik laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam mengembangkan diri. Perempuan di Indonesia hari ini sudah banyak yang turut bekerja di wilayah publik demi mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Namun disisi lain masi banyak diskriminasi terhadap perempuan contoh di dekat di Provinsi Sulawesi barat ini banyak hal salah satu contoh pencabulan terhadap perempuan kerap terjadi bahkan di luar daerah lain pun demikian, ini adalah masalah yang perlu di perhatikan dalam bernegara bagaimana perempuan mendapat hak yg sama di ruang Publik.

Label merdeka yang dimiliki negara ini seharusnya sudah cukup untuk menjadikan kehidupan masyarakatnya makmur. Tidak ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan hari ini seharusnya sudah berani untuk menuntut hak-haknya. Berani melawan diskriminasi yang selama ini di abaikan. Pada tahun 1932 Sukarno pernah berkata “Saat ini perjuangan kaum perempuan yang terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena di bawah kolonialisme kaum laki-laki juga tertindas. Maka bersama dengan laki-laki, memerdekaan Indonesia. Karena hanya di bawah Indonesia yang merdekalah kaum perempuan akan mendapatkan kesetaraanya”. Nampaknya setelah merdeka selama 75 tahun cita-cita Sukorno belum terwujud.

Tanggal 08 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini di latar belakangi oleh demonstrasi besar besaran yang dilakukan oleh buruh perempuan pada tahun 1957. Perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil di New York City menuntut lingkungan kerja dan upah yang lebih baik. Peristiwa ini menginpirasi banyak pergerakan perempuan di dunia untuk memperjuangkan hak-haknya dan menolak diskriminasi terhadap perempuan.

Sejak jaman penjajahan perempuan Indonesia telah memiliki pola fikir mengenai kebebasan terhadap diri mereka sendiri. Perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan dalam berkehidupan dan tidak selalu dijadikan manusia kelas dua. Namun tidak dapat di pungkiri bahwa pergerakan perempuan hari ini semakin berkurang. Perempuan Indonesia hari ini cenderung pasrah dan menerima nasib tanpa mau berjuang demi hak perempuan itu sendiri.

Di era modern ini sudah seharusnya perempuan Indonesia lebih cerdas dalam memandang kehidupan dan hak-hak yang seharusnya didapatkan. Sudah saatnya bangkit dan berani menyuarakan perlakuan diskriminasi yang di dapatkan. Dalam Al-Quran surat Al-Hujarat ayat 13 di sebutkan bahwa “…sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu (laki-laki dan perempuan) adalah yang paling bertaqwa”. Jadi pada intinya semua manusia sama derajatnya di hadapan Tuhannya kecuali ketaqwaannya.

Sudah saatnya pergerakan perempuan bangkit kembali demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik bagi kaum perempuan di Indonesia. Perempuan pantas mendapatkan hak nya mengembangkan diri, berpendidikan tinggi, berkehidupan layak dan tidak mendapatkan diskrimnisasi dalam hal apapun. Mengutip dari sebuah hadist Rosulullah saw “Perempuan adalah tiang negara, jika baik perempuannya maka baiklah negaranya dan jika rusak perempuannya maka rusak pula negaranya”

Harapan kader untuk ketum PB HMI Raihan Ariatama




Penulis :
Aco Riswan
(Kader HMI Cabang Manakarra)

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi kader mahasiswa Islam tertua di Indonesia, secara kualitas dan kuantitas kadernya sudah tidak bisa dibantah. HMI sangat berperan aktif melahirkan kader-kadernya melalui berbagai training formal di HMI.

HMI menjadi salahsatu contoh atas nilai independensi yang sebenarnya, organisasi atau wadah mahasiswa kader nondeskripsi partai secara adminstratif dan legalitatif, bahkan pada organisasi Korps Alumni HMI (KAHMI) tidak bisa dikaitkan hubungan adminstratifnya dengan HMI. Independensi HMI adalah cerminan historis yang selalu dijaga dan dirawat kader-kadernya dalam fase perjuangan HMI dari masa ke masa.

Pengantar diatas sebagai pengetahuan dasar bagi kader-kader yang baru berhimpun didalamnya, juga bahan basic yang tekun dilakukan untuk merekrut cikal bakal kader untuk berhimpun didalam HMI. Berbeda dengan kader-kader yang sudah lama atau sedang berproses, teori-teori dasar itu menuai berbagai kritik dan apreasi pada realitas yang sebenarnya.

Beberapa analisis, kritik, saran, dan masukan mengenai HMI datang dari berbagai stakeholder, mulai dari HMI sendiri (internal) sampai pada diluar HMI (eksternal). Agus Salim Sitompul dalam 44 Indikator Kemunduran HMI, seharusnya menjadi evaluasi bersama dan motivasi perbaikan, menanggapi 44 indikator tersebut secara pesimis adalah murni kesalahan kader yang semakin mengalami kemunduran moral.

HMI berfungsi sebagai organisasi kader dan berperan sebagai organisasi perjuangan, menjadi tuntutan moral kepada setiap diri kader untuk menjaga identitas organisatorisnya. Konflik didalam internal HMI menjadi perbincangan pada setiap pertemuan ke-HMI-an antar kader-kadernya. Pertemuan-pertemuan tidak lagi membahas terkait dengan bagaimana kondisi bangsa dan solusinya, namun lebih kepada konflik antar gerbong, hegemoni kekuasaan (PB HMI, BADKO, Cabang, dan Komisariat), project politik (Pilkada, Pileg, dan Pilpres), dan flayer eksistensi insubstansial.

Kondisi HMI saat ini membuat beberapa kader yang sadar bertanya-tanya apakah yang membuat HMI mengalami degradasi dan sangat lamban khususnya di sektoral permasalahan penyelesaian terhadap konflik kader di tingkat Cabang. Semoga kesadaran akan pentingnya perhatian atas cabang yang mengatur kondisi perkaderan di setiap daerah bisa lebih di maksimalkan sehingga Pun Komisariat bisa lebih leluasa melaksanakan dan mengawal proses kaderisasi sebagai jantung HMI untuk tetap mempertahankan eksistensinya.

Sebagai kader ku titipkan harapan melalui tulisan singkat ini untuk Kakanda-kakanda Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) khususnya Kakanda Raihan Ariatama selaku Ketua Umum PB HMI periode 2021-2023 sebagai simbolik tumpuhan harapan dan kebanggaan kami seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) meskipun secara pribadi belum pernah bertemu secara langsung. sebelumnya kami Sebagai kader akan selalu menjaga nama baik organisasi sebagai wadah tempat berhimpun dan belajar namun hasil dari belajar dan diskusipun kami menemukan celah bahwa kondisi HMI saat ini perlu mendapatkan kritikan dari hasil pemikiran kader yang lahir dari rahimnya sendiri, terutama pada persoalan urusan struktural yang kemudian di anggap sebagai cikal bakal rusaknya pola kultural kaderisasi oleh sebab orientasi kekuasaan berlebih, yang secara potensial akan merembes pada kondisi internal HMI yaitu proses kaderisasi dikarenakan HMI adalah organisasi perkaderan sehingga butuh gerakan yang masif dan sistematis dalam pengelolaannya.

Kami berharap kepada kakanda jajaran Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) untuk lebih mempercepat dalam pengambilan suatu keputusan menyelesaikan konflik khususnya problem di tingkat Cabang demi normalisasi proses berjalannya roda organisasi yang baik di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) jika dibiarkan berlarut-larut dan lama proses penyelesaiannya tentu efeknya akan mengarah di internal dan mempengaruhi optimalisasi tujuan dari pada HMI dan pergeseran atas Nilai-nilai dasar perjuangan (NDP).

Sebagai salahsatu kader HMI jiwa Optimisme dan semangat juang yang tinggi masi menjadi prinsip gerakan. Bentuk penghargaan kepada para pejuang terdahulu khususnya Ayahanda Lafran Pane pendiri HMI pada tahun 1947 M. Terlalu naif bagi kita sebagai kader ketika menyadari kondisi internal HMI sedang mengalami dekadensi lantas hanya berdiam diri bahkan mungkin menjadi salahsatu aktor dan penikmat dari kemunduran HMI di sektoral moralitas hanya karena kepentingan sekelompok atau individu. Skeptisisme berlahan terbentuk dalam paradigma kader memandang masa depan HMI jika terus berdiam diri tanpa ada nilai pemikiran kritis yang di sodorkan demi kepentingan dan masa depan HMI yang lebih baik.

Mengutip dari Argumentasi Kakanda Arief Rosyid hasan mantan Ketua Umum PB HMI 2013-2015 bahwa kondisi HMI hari ini adalah refresentatif dari waja masa depan HMI sehingga harusnya bisa lebih baik dan menyodorkan gagasan-gagasan penting yang membangun umat dan bangsa seiring dengan perkembangan Zaman, akan tetapi ketika HMI seringkali mempertontonkan kerumunan insubstansial, kerusuhan, kekerasan, perpecahan di setiap momen dan konflik yang berlarut-larut maka HMI tidak akan di terima oleh Zaman di masa yang akan datang, dan bahkan kata beliau kita semua tanpa HMI Nothing.

Melihat dari historis perjalanan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari masa ke masa fase-fase perjuangan yang teleh dilalui tentu kita harus berfikir bagaimana berkontribusi sebesar-besarnya terhadap kemajuan HMI tentu dengan mewujudkan tujuan HMI yaitu "Terbinanya insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridohi Allah SWT".

Memandang masa depan HMI rujukan yang bisa kita jadikan Referensi untuk menata kembali masa depan HMI yaitu buku Kakanda Almarhum Muliadi P Tamsir mantan ketua umum PB HMI periode 2016-2018 yang berjudul "Mengubah Dari Jantung" yang berisi tentang gagasan-gagasan penting dan harapan untuk HMI di masa yang akan datang beserta kisah perjalanan sebelum dan setelah masuk di HMI.

Semoga HMI di masa-masa yang akan datang jauh lebih baik sebagaimana harapan para senior-senior pendahulu dikarenakan beberapa tahun terakhir HMI seringkali menyodorkan tontonan konflik yang berlebihan sampai dualisme pun menjadi solusi. Mulai saat ini harapan besar dari seluruh kader HMI melalui Kepemimpinan Kakanda Raihan Ariatama bisa membuat seluruh kader HMI di seluruh penjuru negeri tersenyum bersorak dan bangga atas ke berHMIanya.

Senin, 10 Januari 2022

Harapan kader untuk ketum PB HMI Raihan Ariatama


Penulis :
Aco Riswan
(Kader HMI Cabang Manakarra)

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi kader mahasiswa Islam tertua di Indonesia, secara kualitas dan kuantitas kadernya sudah tidak bisa dibantah. HMI sangat berperan aktif melahirkan kader-kadernya melalui berbagai training formal di HMI.

HMI menjadi salahsatu contoh atas nilai independensi yang sebenarnya, organisasi atau wadah mahasiswa kader nondeskripsi partai secara adminstratif dan legalitatif, bahkan pada organisasi Korps Alumni HMI (KAHMI) tidak bisa dikaitkan hubungan adminstratifnya dengan HMI. Independensi HMI adalah cerminan historis yang selalu dijaga dan dirawat kader-kadernya dalam fase perjuangan HMI dari masa ke masa.

Pengantar diatas sebagai pengetahuan dasar bagi kader-kader yang baru berhimpun didalamnya, juga bahan basic yang tekun dilakukan untuk merekrut cikal bakal kader untuk berhimpun didalam HMI. Berbeda dengan kader-kader yang sudah lama atau sedang berproses, teori-teori dasar itu menuai berbagai kritik dan apreasi pada realitas yang sebenarnya.

Beberapa analisis, kritik, saran, dan masukan mengenai HMI datang dari berbagai stakeholder, mulai dari HMI sendiri (internal) sampai pada diluar HMI (eksternal). Agus Salim Sitompul dalam 44 Indikator Kemunduran HMI, seharusnya menjadi evaluasi bersama dan motivasi perbaikan, menanggapi 44 indikator tersebut secara pesimis adalah murni kesalahan kader yang semakin mengalami kemunduran moral.

HMI berfungsi sebagai organisasi kader dan berperan sebagai organisasi perjuangan, menjadi tuntutan moral kepada setiap diri kader untuk menjaga identitas organisatorisnya. Konflik didalam internal HMI menjadi perbincangan pada setiap pertemuan ke-HMI-an antar kader-kadernya. Pertemuan-pertemuan tidak lagi membahas terkait dengan bagaimana kondisi bangsa dan solusinya, namun lebih kepada konflik antar gerbong, hegemoni kekuasaan (PB HMI, BADKO, Cabang, dan Komisariat), project politik (Pilkada, Pileg, dan Pilpres), dan flayer eksistensi insubstansial.

Kondisi HMI saat ini membuat beberapa kader yang sadar bertanya-tanya apakah yang membuat HMI mengalami degradasi dan sangat lamban khususnya di sektoral permasalahan penyelesaian terhadap konflik kader di tingkat Cabang. Semoga kesadaran akan pentingnya perhatian atas cabang yang mengatur kondisi perkaderan di setiap daerah bisa lebih di maksimalkan sehingga Pun Komisariat bisa lebih leluasa melaksanakan dan mengawal proses kaderisasi sebagai jantung HMI untuk tetap mempertahankan eksistensinya.

Sebagai kader ku titipkan harapan melalui tulisan singkat ini untuk Kakanda-kakanda Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) khususnya Kakanda Raihan Ariatama selaku Ketua Umum PB HMI periode 2021-2023 sebagai simbolik tumpuhan harapan dan kebanggaan kami seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) meskipun secara pribadi belum pernah bertemu secara langsung. sebelumnya kami Sebagai kader akan selalu menjaga nama baik organisasi sebagai wadah tempat berhimpun dan belajar namun hasil dari belajar dan diskusipun kami menemukan celah bahwa kondisi HMI saat ini perlu mendapatkan kritikan dari hasil pemikiran kader yang lahir dari rahimnya sendiri, terutama pada persoalan urusan struktural yang kemudian di anggap sebagai cikal bakal rusaknya pola kultural kaderisasi oleh sebab orientasi kekuasaan berlebih, yang secara potensial akan merembes pada kondisi internal HMI yaitu proses kaderisasi dikarenakan HMI adalah organisasi perkaderan sehingga butuh gerakan yang masif dan sistematis dalam pengelolaannya.

Kami berharap kepada kakanda jajaran Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) untuk lebih mempercepat dalam pengambilan suatu keputusan menyelesaikan konflik khususnya problem di tingkat Cabang demi normalisasi proses berjalannya roda organisasi yang baik di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) jika dibiarkan berlarut-larut dan lama proses penyelesaiannya tentu efeknya akan mengarah di internal dan mempengaruhi optimalisasi tujuan dari pada HMI dan pergeseran atas Nilai-nilai dasar perjuangan (NDP).

Sebagai salahsatu kader HMI jiwa Optimisme dan semangat juang yang tinggi masi menjadi prinsip gerakan. Bentuk penghargaan kepada para pejuang terdahulu khususnya Ayahanda Lafran Pane pendiri HMI pada tahun 1947 M. Terlalu naif bagi kita sebagai kader ketika menyadari kondisi internal HMI sedang mengalami dekadensi lantas hanya berdiam diri bahkan mungkin menjadi salahsatu aktor dan penikmat dari kemunduran HMI di sektoral moralitas hanya karena kepentingan sekelompok atau individu. Skeptisisme berlahan terbentuk dalam paradigma kader memandang masa depan HMI jika terus berdiam diri tanpa ada nilai pemikiran kritis yang di sodorkan demi kepentingan dan masa depan HMI yang lebih baik.

Mengutip dari Argumentasi Kakanda Arief Rosyid hasan mantan Ketua Umum PB HMI 2013-2015 bahwa kondisi HMI hari ini adalah refresentatif dari waja masa depan HMI sehingga harusnya bisa lebih baik dan menyodorkan gagasan-gagasan penting yang membangun umat dan bangsa seiring dengan perkembangan Zaman, akan tetapi ketika HMI seringkali mempertontonkan kerumunan insubstansial, kerusuhan, kekerasan, perpecahan di setiap momen dan konflik yang berlarut-larut maka HMI tidak akan di terima oleh Zaman di masa yang akan datang, dan bahkan kata beliau kita semua tanpa HMI Nothing.

Melihat dari historis perjalanan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari masa ke masa fase-fase perjuangan yang teleh dilalui tentu kita harus berfikir bagaimana berkontribusi sebesar-besarnya terhadap kemajuan HMI tentu dengan mewujudkan tujuan HMI yaitu "Terbinanya insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridohi Allah SWT".

Memandang masa depan HMI rujukan yang bisa kita jadikan Referensi untuk menata kembali masa depan HMI yaitu buku Kakanda Almarhum Muliadi P Tamsir mantan ketua umum PB HMI periode 2016-2018 yang berjudul "Mengubah Dari Jantung" yang berisi tentang gagasan-gagasan penting dan harapan untuk HMI di masa yang akan datang beserta kisah perjalanan sebelum dan setelah masuk di HMI.

Semoga HMI di masa-masa yang akan datang jauh lebih baik sebagaimana harapan para senior-senior pendahulu dikarenakan beberapa tahun terakhir HMI seringkali menyodorkan tontonan konflik yang berlebihan sampai dualisme pun menjadi solusi, mulai saat ini harapan besar melalui kepemimpinan Kakanda Raihan Ariatama bisa membuat seluruh kader HMI di seluruh penjuru negeri tersenyum bersorak dan bangga atas ke berHMIanya.

Rabu, 05 Januari 2022

KEMERDEKAAN DAN PEREMPUAN


QHAMTINA SARI

Salahsatu Aktivis Perempuan Provinsi Sulawesi Barat yang juga adalah salahsatu kader HMI-WATI Cabang Manakarra.

Sejak tahun 1945 bangsa Indonesia telah dinyatakan menjadi bangsa yang merdeka. Secara umum berarti seluruh warga masyarakat baik itu perempuan ataupun laki laki telah bebas dari penjajahan dan penindasan dalam bentuk apapun. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan keputusan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945.

Namun, realitanya yang terjadi di negara ini jauh dari kata merdeka, khususnya bagi kaum perempuan. Jika dikatakan merdeka adalah bebas berkehidupan dan bebas dari penindasan, saya rasa hal itu belum terwujud sepenuhnya. Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki peninggalan zaman penjajahan yang masih melekat dan dipertahankan oleh masyarakat Indonesia.

Patriarki adalah budaya dimana kaum laki laki yang menjadi manusia kelas satu, sedangkan perempuan selalu dipandang sebagai entitas kedua dalam berkehidupan. Efek yang ditimbulkan dari budaya ini adalah perempuan menjadi disepelekan dan hanya di tempatkan di ruang domestik. Ada istilah yang sering kita dengar di masyarakat bahwa tempatnya perempuan adalah “dapur, kasur, sumur”. Kebanyakan perempuan di Indonesia hari ini seakan pasrah dilabeli dengan pengaruh- pengaruh sisa zaman penjajahan seperti itu. Padahal hari ini bangsanya telah merdeka.

Perempuan yang berkiprah di wilayah publik masih menjadi bahan perbincangan dan banyak dicemooh. Perempuan yang mengejar pendidikan setinggi mungkin justru dicibir habis oleh masyarakat sebagian. Bukanka dalam alinea ke empat pembukaan UUD 45 disebutkan bahwa cita-cita bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, lantas ketika para perempuan berusaha menjadikan diri mereka cerdas hal tersebut malah menjadi suatu hal aneh di tengah masyarakat.

Merdeka bermakna bebas. Baik laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam mengembangkan diri. Perempuan di Indonesia hari ini sudah banyak yang turut bekerja di wilayah publik demi mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Namun disisi lain masi banyak diskriminasi terhadap perempuan contoh di dekat di Provinsi Sulawesi barat ini banyak hal salah satu contoh pencabulan terhadap perempuan kerap terjadi bahkan di luar daerah lain pun demikian, ini adalah masalah yang perlu di perhatikan dalam bernegara bagaimana perempuan mendapat hak yg sama di ruang Publik.

Label merdeka yang dimiliki negara ini seharusnya sudah cukup untuk menjadikan kehidupan masyarakatnya makmur. Tidak ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan hari ini seharusnya sudah berani untuk menuntut hak-haknya. Berani melawan diskriminasi yang selama ini di abaikan. Pada tahun 1932 Sukarno pernah berkata “Saat ini perjuangan kaum perempuan yang terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena di bawah kolonialisme kaum laki-laki juga tertindas. Maka bersama dengan laki-laki, memerdekaan Indonesia. Karena hanya di bawah Indonesia yang merdekalah kaum perempuan akan mendapatkan kesetaraanya”. Nampaknya setelah merdeka selama 75 tahun cita-cita Sukorno belum terwujud.

Tanggal 08 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini di latar belakangi oleh demonstrasi besar besaran yang dilakukan oleh buruh perempuan pada tahun 1957. Perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil di New York City menuntut lingkungan kerja dan upah yang lebih baik. Peristiwa ini menginpirasi banyak pergerakan perempuan di dunia untuk memperjuangkan hak-haknya dan menolak diskriminasi terhadap perempuan.

Sejak jaman penjajahan perempuan Indonesia telah memiliki pola fikir mengenai kebebasan terhadap diri mereka sendiri. Perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan dalam berkehidupan dan tidak selalu dijadikan manusia kelas dua. Namun tidak dapat di pungkiri bahwa pergerakan perempuan hari ini semakin berkurang. Perempuan Indonesia hari ini cenderung pasrah dan menerima nasib tanpa mau berjuang demi hak perempuan itu sendiri.

Di era modern ini sudah seharusnya perempuan Indonesia lebih cerdas dalam memandang kehidupan dan hak-hak yang seharusnya didapatkan. Sudah saatnya bangkit dan berani menyuarakan perlakuan diskriminasi yang di dapatkan. Dalam Al-Quran surat Al-Hujarat ayat 13 di sebutkan bahwa “…sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu (laki-laki dan perempuan) adalah yang paling bertaqwa”. Jadi pada intinya semua manusia sama derajatnya di hadapan Tuhannya kecuali ketaqwaannya.

Sudah saatnya pergerakan perempuan bangkit kembali demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik bagi kaum perempuan di Indonesia. Perempuan pantas mendapatkan hak nya mengembangkan diri, berpendidikan tinggi, berkehidupan layak dan tidak mendapatkan diskrimnisasi dalam hal apapun. Mengutip dari sebuah hadist Rosulullah saw “Perempuan adalah tiang negara, jika baik perempuannya maka baiklah negaranya dan jika rusak perempuannya maka rusak pula negaranya”.

Editor : Abstrak