Senin, 10 Agustus 2020

PILIHAN KE TIGA BUKAN SOLUSI

Oleh: Aco Riswan Salahsatu Mahasiswa Fisipol Universitas Tomakaka Mamuju.

Polemik sejarah pada masa pemimpin otoritas yang tidak bisa di pungkiri sedikit bernuansa di masa ini sehingga menjadi alibi dan membuat kita berfikir untuk memilih pemimpin.

Akan tetapi apakah sepenuhnya relevan dengan kondisi sosial hari ini. Jika negara secara konstitusional menghadapkan kita dengan dua pilihan yang secara mutlak mengatur kehidupan masyarakat, maka apakah dengan membuat pilihan ketiga adalah solusi terbaik.

Jika kesejahteraan Masyarakat hari ini secara mutlak harus di atur oleh pemerintah maka apakah dengan tidak memilih pemerintah menjinakkan kesejahteraan.

Berpaling dari dua pilihan ke pilihan ke tiga dampaknya kira-kira seperti apa untuk negri ini, apakah lebih mensejahterakan atau malah cenderung membuat negara tak berarti lagi dengan segala aturannya: lantas mengapa masi taat hukum yg diatur pemerintah.

Ajakan untuk pilihan ke tiga sudah dari dulu diteriakkan jika memang itu adalah solusi terbaik mungkin saja negara ini sudah bubuar karna tidak memiliki pemimpin :siapa yang akan memilih, iakan.

Padahal banyak orang cerdas di negri ini, tapi berbanding terbalik dengan yang memikirkan pilihan ke tiga: apakah betul itu solusi.

Jangan sampai hanya karna popularitas ingin berbeda dengan yang lain pilihan ketiga muncul, yang secara logis akal sehat menyadari itu.

Jika dikuatirkan pemimpin yg akan terpilih tidak amanah, maka mengapa tidak kita membantu mengedukasi masyarakat yang mungkin kurang paham dengan arah pembangunan jika misalnya mereka yg terpilih: bukanka lebih solutif jika difikirkan.

Bukanka salahsatu Filsuf Yunani Plato menyarankan kita memilih pemimpin berdasarkan kebaikan dan kearifan, lebih daripada kelihaian dan karisma mereka yang memiliki keunggulan intelektual: Bisa dijadikan acuan Edukasi dan masi banyak referensi lagi sejenisnya.

Sehingga harusnya kita berperan aktif mendorong publik untuk memilih berdasarkan integritas, kebaikan, kearifan dan sifat tidak mementingkan diri sendiri.

Demikianlah hasil analisis sederhana saya menanggapi problem beberap wacana dan ajakan untuk pilihan ketiga yang secara sadar masi mejadi pertanyaan mendasar tentang kelogisan dan konsekuensi yang akan terjadi.

Dikarenakan jika tidak ada kepercayaan untuk para calon pemimpin kita makan secara tidak langsung kita telah mengonfirmasikan bahwa para Kaka/senior kita terdahulu telah gagal dalam visi dan misinya jika demikian apakah kita masi bangga menjadi bangsa Indonesia.

Bukankah lembaga kemahasiswaan sudah ada sejak dulu, berarti kita yg gagal senior kita yg gagal bukan pemerintah karna tidak ada pilihan lain bagi rakyat.

Kemudian bukanka keruntuhan orde baru ke reformasi di tuntut oleh rakyat mengapa masi mengeluh, para pemimpin lahir dari masyarakat itu sendiri/mahasiswa sekarang bisaka kita paham ada yg salah dari proses kaderisasi dari masa ke masa: Evaluasi jangan sampai karna formalitas kuantitas yang selama ini menjadi metode kita hanya memperbanyak kader adalah indikator lahirnya pemimpin bobrok.

Kekurangan dan kelebihan selalunya melekat pada diri manusia dengan segala keterbatasannya.



Kesimpulan terbaik yg saya tarik, adalah sebagai pemuda secara umum khususnya mahasiswa harusnya kita berperan aktif dalam menyukseskan setiap pemilihan mengawal arah kepemimpinan pemerintahan dalam 5 tahun kedepan jangan sampai masyarakat salah pilih: Banya yg mengeluh nantinya.

Editor: Abstrak